Saya mendengar ucapan ini dari Bung Kris ketika menghadiri sebuah acara diskusi di Yogyakarta. Bung Kristeva adalah aktivis berlatar belakang NU, yang menurut saya rekan-rekan perlu juga menengok sumbangan pemikirannya bagi sesama aktivis, terutama aktivis di Nahdlatul Ulama. Apa yang saya pahami dari ucapannya itu adalah seorang aktivis, siapa pun, dan di mana pun tempatnya lahir untuk menjadi seorang pendidik. Saya menyebutnya pendidik karena ini erat kaitannya dengan proses transfer keilmuan.
Seorang aktivis atau kader pada dasarnya punya tugas pertama untuk terdidik, dalam arti belajar dan paham mengenai konstitusi organisasi, sampai segala hal yang jadi dasar sebuah organisasi. Kemudian, setelah pondasi dasar intelektual terisi, kader dapat melangkahkan kakinya untuk belajar dan mengasah nalar organisasinya lewat berbagai praktik yang diamanahkan organisasi. Mengurus organisasi, melakukan pengkaderan, dan menjaga keberlanjutan organisasi serta kadernya. Hal ini tentu membutuhkan, apa yang saya sebut sebagai “makanan intelektual”.
Sebelum itu, mungkin kita perlu berkaca dengan para pendiri IPNU-IPPNU. Mereka bukan sembarang orang, yang karena gabut lalu membuat sebuah perkumpulan. Sama sekali tidak dengan alasan remeh. Para pendiri organisasi IPNU-IPPNU adalah para terdidik yang tidak lahir dari pikiran hampa. Pola pikir dan arah gerak mereka dialektis. Mereka adalah aktivis yang mengisi ruang-ruang dalam otaknya dengan “makanan intelektual”. Setelah itu, gagasan itu diuji dan diolah lewat diskusi, agar pikiran semakin tajam dan tepat.
Lalu “makanan intelektual” seperti apa? “Makanan intelektual” dapat berupa buku, referensi, sumber lisan, petuah ulama, atau berbagai narasi di sekeliling kita yang kalau kita sadari begitu banyak munculnya. Tentu, layaknya aktivitas makan, Rekan-Rekanita punya porsi makannya masing-masing. Ada yang dapat makan dengan porsi banyak, ada yang cukup dengan beberapa suap. Porsi makan yang baik adalah porsi makan yang seimbang isinya, tidak juga berlebihan.
Seorang kader akan masuk dalam fase terberat ketika ia hanya sanggup memberi, tanpa mampu mengisi kembali. Dirinya akan padam layaknya lampu petromaks kehabisan minyak tanah, atau lilin yang habis untuk menerangi sekelilingnya. Geraknya stagnan dan nihil kemajuan. Tak ada peningkatan, dan mengulang tradisi seremonial. Oleh karena itu, anggota organisasi hampir selalu akan memerlukan ”makanan intelektual” agar pembaruan dalam organisasi selalu terjadi.
Lalu apa yang mesti dibaca? Banyak sekali rekan-rekanita. Jangan bilang karena membaca digambarkan membosankan dan sulit lalu kita lupakan saja kayak hubungan kita. Dalam penataan sebuah organisasi, “makanan pokok” seorang kader adalah peraturan dasar, peraturan rumah tangga, peraturan organisasi, dan peraturan administrasinya, atau kita sebut ia konstitusi organisasi. Setiap kader musti paham dan mengamalkan isinya.
Semua organisasi berdiri atas asas yang disepakati bersama. Asas sebagai pondasi melahirkan berbagai turunan, mulai dari visi-misi, falsafah gerak, istilah-istilah penting, peraturan-peraturan, unsur-unsur organisasi, dan keseluruhan hal yang menyangkut organisasi. Tanpa asas yang jelas, organisasi hanya akan ngalor-ngidul. Aktivitas seperti bedah Peraturan Organisasi atau Administrasi, dengan balutan kegiatan yang menarik dapat menjadi solusi kita membaca dan belajar bersama. Bahkan, kalau perlu Pimpinan Cabang mewajibkan pengurus anggotanya paham dan taat dengan konstitusi organisasi.
Jika kita tengok kembali, alur organisasi IPNU-IPPNU malah sudah tertata rapi. Mulai dari Rapat Anggota, Konferancab, Konfercab, Konferwil, sampai Konbes sebetulnya adalah wadah aspirasi kader dan anggota dapat tersampaikan. Masukan dari struktural organisasi terbawah, mungkin sekali dihulukan ke pengurus cabang, wilayah, atau pusat. Dari itu lahirlah keputusan yang mewadahi kepentingan bersama, yang dalam tatanan praktisnya, anggota di akar rumput juga akan merasakan.
Sayangnya, problem hari ini banyak rekan kita masih tak acuh dengan konstitusinya sendiri. Hal ini mungkin karena kurangnya rasa memiliki organisasi atau kesengajaan dirinya menolak mengonsumsi “makanan pokok”-nya. Banyak juga yang belum memahami fungsi rapat dan musyawarah, padahal forum ini begitu penting dalam organisasi. Ada mungkin yang peduli, tetapi hanya segelintir. Oleh karena itu, yang merasa sudah terdidik, mulailah untuk mendidik rekan-rekannya. Tentu dengan niatan bukan menggurui, tetapi belajar dan berdinamika bersama. Mulailah dengan kembali kepada aturan-aturan dalam berorganisasi, praktikkan, dan ajarkan. Bismillah.